Remaja masa kini, siapa yang tak kenal Facebook dan Twitter? Bahkan
sejak usia belia, katakanlah 8 tahun, seorang anak sudah mengenal dan
memiliki akun social media. Masalahnya, seringkali mereka asal bergabung saja
dengan social media tanpa memahami bahaya yang mengincar. Orang tua pun
sering kali menganggap wajar saja jika anak mereka sudah mulai
berfesbuk dan twiteria, tanpa memberi mereka peringatan tentang dampak
negatifnya.
1. Pencuri waktu dan produktivitas.
Bisa dikatakan di zaman modern sekarang ini kita tidak bisa terpisah
dari yang namanya teknologi informasi dan komunikasi. Setiap hari kita
butuh informasi baru dan komunikasi yang dinamis. Mungkin mereka sudah
bisa dimasukkan ke daftar kebutuhan primer, selain sandang, pangan,
papan. Apalagi dengan adanya teknologi smartphone yang bisa
mengakses media sosial dengan cepat, mudah, dan murah, orang-orang pun
semakin dimanjakan. Dengan “sekali klik”, kita bisa memperoleh informasi
apapun yang diinginkan. Akibatnya, tanpa disadari kita menjadi
“terlarut” di dalamnya. Kapanpun, di manapun, dan dengan siapapun kita
saat itu, selalu tidak pernah lupa untuk meng-update status, meng-uplad foto, ataupun memberi comment
di status orang lain. Pekerjaan yang seharusnya jadi prioritas utama
malah jadi terabaikan. Kita pun jadi sangat mudah mengalami distraction dan kehilangan fokus pada hal-hal lain.
2. Hubungan yang dangkal dan murah.
Keberadaan media sosial elektronik memberi kita kesempatan untuk bisa
tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup orang lain tanpa kita harus
masuk dan mengenal lebih dalam tentang kehidupan orang tersebut. Stalking,
demikianlah orang-orang mengenal istilahnya zaman sekarang. Lagi pula
jika ada teman yang sedang berulangtahun, kita bisa langsung memberikan
“perhatian” dengan hanya meluangkan beberapa detik saja menuliskan “HBD
WYATB”. Tak perlu telepon untuk sekedar mendengar suaranya dan tulus
mendengarkan kisah hidupnya. Tak perlu menghabiskan waktu, energi, dan
uang kita untuk datang ke rumahnya bertatap muka secara langsung,
memberi pelukan hangat, dan kado spesial. Selain itu, jika kita telah
melakukan kesalahan pada orang lain, kita bisa dengan mudah menyampaikan
permohonan maaf melalui e-mail atau message di media
sosial tersebut. Tidak perlu datang bertemu langsung dan melakukan
pemberesan secara pribadi. Semuanya dianggap “baik-baik saja”.
Akibatnya, kemampuan relasi interpersonal menjadi semakin buruk.
Orang-orang lebih “pandai” membangun hubungan di dunia maya daripada di
dunia nyata. Yang mengherankan, cara mereka bersikap di dunia maya
cenderung tidak sama dengan apa yang mereka tunjukkan di dunia nyata.
Hubungan pun terasa palsu, dangkal, dan murahan.
3. Cenderung berfokus pada diri sendiri.
Setiap orang punya kebutuhan tentang eksistensi diri, untuk
mengaktualisasikan diri dan kebutuhan tersebut dijawab dengan sangat
tepat oleh media sosial. Orang-orang berlomba menunjukkan tempat-tempat
mana saja yang sudah dikunjungi, makanan-makanan apa saja yang sudah
pernah disantap, atau aktivitas-aktivitas apa saja yang sudah pernah
dikerjakan. Ada yang motivasinya untuk membangun citra, ada juga yang
motivasinya untuk mencari perhatian. Namun, ada juga motivasi yang lebih
“gila”, yaitu untuk menyakiti (atau membuat iri) orang lain. Apapun
motivasinya, intinya sama saja: “menyenangkan diri sendiri”. Menurut
saya, jika sudah tidak tertahankan lagi, sikap “menyenangkan diri
sendiri” ini cepat atau lambat akan segera menuju ke sikap “menyembah
diri sendiri” atau “mengidolakan diri sendiri".
Ibarat pisau, media sosial elektronik,
bisa digunakan untuk tujuan yang positif (konstruktif) atau negatif
(destruktif). Semua tergantung pada siapa pemakainya.
http://philipwijaya.com/2013/05/31/bahaya-media-sosial/
http://ictwatch.com/internetsehat/2012/05/07/5-ancaman-bagi-anak-remaja-di-social-media/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar