Review
PENGARUH
SOSIAL – EKONOMI DARI SENTRA INDUSTRI KECIL : KASUS DI KAB. BANTUL, JOGJAKARTA
Oleh
Fereshti
Nurdiana Dihan
Edy
Purwo Saputro
Fakultas
Ekonomi Universitas Muhammadiyah Solo
Metode
penelitian
Lokasi penelitian ini yaitu di
sentra industri emping melinjo di
Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.
Pengumpulan
data dilakukan dengan survey dan wawancara
langsung (indepth interview)
dengan key person di sentra industri emping melinjo di Kecamatan Banguntapan,
Kabupaten Bantul. Berdasar penelitian kualitatif, maka analisis data dilakukan
di lapangan dan bahkan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Reduksi dan
sajian data merupakan dua komponen dalam analisis data.
Hasil
dan Pembahasan
UKM yang menjadi penekanan kasus dari penelitian ini
adalah UKM emping melinjo di Desa Mutihan, Wirokerten, Kec.
Banguntapan, Kotagede, Jogja.
1. Perijinan
Temuan
yang ada menunjukan bahwa semua syarat
kelengkapan perijinan memang tersedia. Perijinan ini tidak bisa terlepas
dari pasar produk emping TRIROSO yang telah memasuki pasar di Malaysia (sejak 3 tahun terakhir). Emping ini
diimpor oleh Kamsia Trading,
Sri Utara 2 Kabota,
91000 – Tawau, Sabah, Malaysia no
Telp: 089-925767. Yang menarik ternyata pada label kemasan tetap disebutkan
bahwa emping adalah buatan TRIROSO – Indonesia.
2.
Lokasi Produksi
Lokasi produksi UKM sentra industri emping di Desa
Mutihan, Wirokerten, Kec. Banguntapan, Kotagede, berada di perkampungan dan
dekat dengan pasar cenderamata yaitu Pasar Kota Gede yang dikenal sebagai sentra industri
perak. Persoalan utama
lokasi yaitu ketika melakukan
pengiriman produk dalam jumlah besar sehingga truk (kontainer)
kesulitan masuk ke lokasi usaha.
3.
Tata Letak Produksi
Tata letak produksi
emping TRIROSO tertata rapi yaitu
letak gudang untuk bahan emping, gudang untuk produk emping yang siap masak,
gudang untuk produk yang siap kemas dan emping yang sudah dikemas, tempat untuk penggorengan berbagai
tipe rasa emping serta
penjemuran bahan emping.
Tata letak ini membutuhkan areal sekitar 500 m2 , selain
rumah induk untuk tempat tinggal.
4.
Permodalan
Prinsip
sakmadyo yang dijalani oleh pemilik emping TRIROSO yaitu Bu Temu dan suaminya
Edi Prayitno cenderung membuat aspek permodalan dari usaha ini lebih mengandalkan modal sendiri dan juga prinsip saling percaya
kepada pemasok biji melinjo dan pedagang
besar yang menjual produk emping TRIROSO.Mengacu dari pengalaman sejumlah pengusaha
emping sebelumnya yang
bangkrut terjerat hutang,
maka kemudian muncul prinsip ‘sakmadyo’ dan ini nampaknya diyakini betul
sehingga akhirnya di desa ini hanya ada satu pengusaha emping melinjo dengan
label TRIROSO.
5.
Sumber daya manusia
Pekerja yang terlibat
yaitu penduduk sekitar ada 35 KK, jika masing-masing ada 2 yang
terlibat maka ada 70 orang terlibat.
Setiap orang bisa mengambil bahan untuk ditumbuk – deplok sekitar 20 kg dan
upah per kg Rp. 2.000 (upah tumbuk) sehingga per orang mendapatkan Rp.40.000
per hari. Buruh tumbuk dilakukan di rumah karena mereka juga bisa melakukan
pekerjaan rumah dan juga pekerjaan lainnya sehingga muncul mutualisme yaitu
pekerjaan rumah selesai dan tetap bekerja numbuk mendapatkan penghasilan dari buruh.
6.
Kepemimpinan
Kendali
utama tetap ada di Bu Temu dan suaminya,
meski di sisi lain juga berusaha memberi kepercayaan pengelolaan kepada
anak-anak. Hal ini tidak lain upaya
untuk melakukan suksesi dan regenerasi.
Hal ini penting karena dari sejumlah pengusaha yang pernah ada, ternyata tidak
ada satupun yang mampu bertahan, kecuali
Bu Temu. Keberlangsungan sentra
industri emping melinjo ini tergantung kepada bagaimana Bu Temu
mewariskan usaha ini ke anak-anaknya.
7.
Manajemen akuntansi
Temuan
yang sama juga ada di sentra industri emping di Mutihan milik Bu Temu karena
memang tidak ada prosedural manajemen
akuntansi karena takut pusing, semua berjalan sesuai apa adanya dan lebih
banyak didasarkan pada aspek kepercayaan. Artinya, manajemen yang utama adalah
saling percaya, meski tetap ada pembukuan sederhana untuk bisa sekedar mencatat
jumlah pengambilan bahan emping, jumlah pengiriman bahan, jumlah yang diambil
pedagang besar dan juga pencatatan hutang – piutang secara sederhana. Yang menarik
pernah ada koperasi Wiradewi, tapi tidak berjalan karena koperasi tidak bisa
memasarkan produksi dan tidak proaktif.
8.
Pengupahan
Pengupahan untuk buruh tumbuk – ndeplok telah dijelaskan
di atas dan untuk lainnya, misal
penggorengan dan pemberian bumbu dilakukan sendiri oleh Bu Temu dan
suaminya. Hal ini tidak lain untuk menjaga rasa dan karenanya tidak ada upah
bagi keduanya. Selain itu, pekerjaan yang lainnya, misal mengeringkan biji
melinjo dengan panas matahari cenderung dilakukan secara insidentil, sedang
untuk pengepakan dilakukan anak-anaknya
sendiri dengan sedikit
bantuan dengan pengupahan yang
tidak terlalu besar (upah
harian).
9.
Bahan
baku
Dari
temuan yang ada menunjukan bahwa manajemen persediaan bahan baku dan juga
persediaan emping jadi dengan berbagai rasa (rasa manis, kluthuk, kropos, super
dan bumbon) sudah diterapkan dengan baik. Oleh karena itu, fluktuasi harga melinjo yang menjadi
bahan emping tidak menjadi persoalan
serius dari proses produksi. Selain itu, luas area rumah yang juga menjadi
tempat produksi sangat memungkinkan bagi penyimpanan sehingga ketersediaan
bahan baku dan persediaan emping siap jual dapat
disimpan dengan baik tanpa mengurangi rasa dari hasil produksi itu
sendiri.
10. Proses produksi
Proses produksi yang ada di berbagai UKM sentra industri cenderung dilakukan dengan
prinsip sederhana dan cenderung manual karena tak ada otomatisasi dalam semua
proses produksi yang berlangsung. Semua
pekerjaan juga dilakukan manual dengan
tangan-tangan terampil dan cekatan yang sudah sangat terbiasa melakukan rutinitas pekerjaan di
sentra industri. Temuan yang
ada menunjukan bahwa proses produksi tidak semuanya dikerjakan di rumah
sebagai tempat proses produksi karena adanya pelibatan warga sekitar sebagai
buruh tumbuk – ndeplok.
11. Produk sampingan
Produk
sampingan yaitu pengembangan produk utama untuk meningkatkan nilai tambah yang
memberikan profit. Oleh karena itu, proses pengolahan produk yang baik akan
memberikan produk sampingan yang baik juga. Proses produksi emping melinjo
tidak menyisakan produk sampingan yang terbuang karena semuanya dapat
dimanfaatkan dan juga memberikan nilai ekonomi. Bahkan, kulit melinjo yang
telah diambil bijinya bisa dimanfaatkan untuk sayuran, juga bisa dimasak
menjadi snack setelah melalui proses penggorengan.
12. Pemasaran
Aspek
pemasaran sudah mencakup berbagai daerah misal Kalimantan, Malaysia (sudah 3
tahun) dan Jatim. Kemasan dalam berbagai bentuk ukuran yaitu: ¼ kg, ½ kg, 1 kg,
dan 5 kg. Promosi dilakukan dari mulut ke mulut
(word-of-mouth) lewat tukang becak,
andong karena setiap lebaran Bu Temu memberikan fitrah – zakat. Promosi
cara ini ternyata sangat efektif sebab banyak wisatawan yang diantar oleh
tukang becak dan
andong
ke rumah Bu Temu untuk sekedar tahu proses pembuatan dan membeli beberap kilo
emping melinjo dan tukang becak – andong yang mengantar juga akan mendapat
emping meski jumlahnya tidak seberapa.
13. Limbah hasil produksi
UKM
sentra industri emping ternyata tidak ada limbah hasil produksi karena semua
terpakai, termasuk kulit juga laku di jual untuk di masak atau di buat goreng
kulit. Secara ekonomi, usaha ini sangat menguntungkan karena tidak ada satupun
produk terbuang. Selain itu, terobosan bakpia emping menjadi alternatif baru
yang memberikan nilai tambah dan nilai ekonomi dari kuliner dalam bentuk makanan
khas asli Jogja.
14. Pertimbangan ekspansi
Kegagalan sejumlah pengusaha sebelumnya yang terbelit
hutang dan tidak konsisten dengan ekspansi usaha. Selain itu, untuk mendukung
ekspansi juga telah melibatkan proses regenerasi kepada anak-anaknya. Salah satu
bentuk ekspansi yang telah dilakukan adalah membuat
rumah kos karena di sekitar
rumah tersebut terdapat sebuah PTS dan juga rencana pendirian kampus 3
dari salah satu PTS. Sampai saat ini sudah ada 22 kamar kos dan sedang menyelesaikan 10 kamar kos lagi
yang berlokasi di dekat 22 kamar kos
yang lama dan juga masih sekitar rumah untuk proses produksi.
15. Dampak sosial
Dampak
sosial dari perkembangan UKM sentra industri emping sangat terkait dari
aspek pemberdayaan semua warga,
baik sebagai buruh deplok – tumbuk atau dalam kaitan sebagai penjual emping
melinjo. Hal ini secara tidak langsung memberikan nilai tambah sosial dan nilai
tambah ekonomi bagi masyarakat. Pihak terkait sangat perlu untuk mendukung dan
menumbuhkembangan sentra industri lain agar realitas dampak sosial dapat
lebih memberdayakan
masyarakat sehingga terjadi simbiosis mutualisme yang memberikan dampak
simultan ke aspek yang lain.
16. Dampak penyerapan tenaga kerja
Keberadaan
UKM dan sektor informal pada umumnya
cenderung padat karya serta melibatkan rantai nilai yang tidak kecil. Oleh
karena itu, pada setiap tingkatan yang terlibat, baik dalam proses produksi ataupun dalam jaringan pemasaran
maka perlu membangun sinergi dengan
banyak pihak. Jika saja dari setiap UKM yang ada bisa melibatkan pekerja
minimal 5 orang, maka secara nasional akan terjadi akumulasi pelibatan pekerja
dalam jumlah yang sangat banyak. Dari temuan ini, maka UKM di berbagai sentra industri harus
diberdayakan agar aspek penyerapan tenaga kerja bisa lebih optimal dan hal ini
secara tidak langsung dapat mereduksi pengangguran.
17. Dampak perbaikan kesejahteraan
Dampak simultan yang tidak bisa terlepas dari penyerapan
tenaga kerja dari keberadaan UKM di
berbagai sentra industri adalah perbaikan taraf kesejahteraan. Jika satu saja
dari keberadaan UKM di berbagai sentra industri dapat memberikan perbaikan kesejahteraan satu
keluarga, maka secara nasional akan
berdampak positif bagi perbaikan
kesejahteraan. Oleh karena itu, pemerintah pusat khususnya dan pemerintah
daerah pada umumnya dituntut untuk lebih menumbuhkembangkan eksistensi UKM. Hal
ini selain sejalan dengan penerapan era otda, juga terkait dengan program
pemerintah untuk menumbuhkembangkan industri kreatif karena UKM – sektor
informal juga menjadi bagian dari keberadaan industri kreatif.
18. Dampak ekonomi mikro
Keberhasilan daerah menumbuhkembangkan UKM dengan
berbagai sentra industri yang ada secara tidak langsung akan berdampak positif
bagi perbaikan ekonomi di daerah tersebut. Oleh karena itu, dalam skala mikro,
eksistensi UKM dengan berbagai sentra industri yang ada sangat berpengaruh
terhadap peningkatan kondisi mikro ekonomi di daerah, baik dalam penerimaan
pajak ataupun kontribusi lainnya.
19. Dampak ekonomi makro
Aspek lainnya yang tidak dapat diabaikan dari peran UKM
dengan berbagai sentra industri yang ada adalah dampak terhadap ekonomi makro.
Jika suatu daerah yang mampu menumbuhkembangkan UKM
dapat meningkatkan ekonomi mikro, maka hal ini secara nasional
dapat mempengaruhi perbaikan kondisi makro ekonomi. Jika
hal ini dapat
berkelanjutan maka secara
tidak langsung akan
mempengaruhi kondisi
kesejehteraan dan mereduksi kemiskinan absolut termasuk
juga kontribusi terhadap
penerimaan negara melalui berbagai
retribusi dan pajak yang dibayarkan rakyat
di daerah dan secara nasional. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk
mengibiri UKM dengan berbagai sentra industri yang ada di daerah, tanpa
terkecuali.
20. Tantangan mendatang
Identifikasi
terhadap berbagai tantangan
yang ada harus
dipetakan dengan melihat
kondisi riil masing-masing UKM
dengan berbagai sentra industri
yang ada. Paling tidak, pemetaan
tersebut harus mengkaji tentang kekuataan internal dan
potensi riil yang ada dikaitkan dengan ancaman dan kelemahan dari masing-masing
UKM. Hal ini tentu harus mendapat
dukungan dari semua, tidak hanya Disperindagkop pusat dan daerah, tetapi juga
perbankan dan pihak swasta serta mitra atau bapak angkat di
semua tahapan, termasuk mata rantai yang terlibat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar