Kamis, 03 Januari 2013

Posting 4. Ekonomi Koperasi



Review
PENGARUH SOSIAL – EKONOMI DARI SENTRA INDUSTRI KECIL : KASUS DI KAB. BANTUL, JOGJAKARTA
Oleh
Fereshti Nurdiana Dihan
Edy Purwo Saputro
Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Solo

Metode penelitian
Lokasi penelitian ini  yaitu di  sentra industri  emping melinjo di Kecamatan Banguntapan,  Kabupaten Bantul. Pengumpulan data dilakukan dengan survey dan wawancara  langsung (indepth  interview) dengan key person di sentra industri emping melinjo di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Berdasar penelitian kualitatif, maka analisis data dilakukan di lapangan dan bahkan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Reduksi dan sajian data merupakan dua komponen dalam analisis data.

Hasil dan Pembahasan
UKM yang menjadi penekanan kasus dari penelitian ini adalah UKM emping melinjo di Desa Mutihan, Wirokerten, Kec. Banguntapan, Kotagede, Jogja.
1.      Perijinan
Temuan yang ada menunjukan bahwa semua syarat  kelengkapan perijinan memang tersedia. Perijinan ini tidak bisa terlepas dari pasar produk emping TRIROSO yang telah memasuki pasar di Malaysia  (sejak 3 tahun terakhir).  Emping ini  diimpor  oleh Kamsia  Trading,  Sri  Utara 2  Kabota,  91000 – Tawau,  Sabah, Malaysia no Telp: 089-925767. Yang menarik ternyata pada label kemasan tetap disebutkan bahwa emping adalah buatan TRIROSO – Indonesia. 

2.      Lokasi Produksi
Lokasi  produksi UKM sentra industri emping di Desa Mutihan, Wirokerten, Kec. Banguntapan, Kotagede, berada di perkampungan dan dekat dengan pasar cenderamata yaitu Pasar Kota Gede yang dikenal  sebagai sentra  industri  perak.  Persoalan  utama  lokasi  yaitu ketika  melakukan  pengiriman  produk dalam  jumlah besar sehingga truk (kontainer) kesulitan masuk ke lokasi usaha.

3.      Tata Letak Produksi
Tata letak produksi  emping TRIROSO tertata rapi  yaitu letak gudang untuk bahan emping, gudang untuk produk emping yang siap masak, gudang untuk produk yang siap kemas dan emping yang sudah dikemas, tempat   untuk penggorengan  berbagai  tipe  rasa   emping serta  penjemuran  bahan  emping.  Tata  letak  ini membutuhkan areal sekitar 500 m2 , selain rumah induk untuk tempat tinggal.

4.      Permodalan
Prinsip sakmadyo yang dijalani oleh pemilik emping TRIROSO yaitu Bu Temu dan suaminya Edi Prayitno cenderung membuat aspek permodalan dari usaha ini  lebih mengandalkan modal  sendiri dan juga prinsip saling percaya kepada pemasok biji  melinjo dan pedagang besar yang menjual produk emping TRIROSO.Mengacu dari  pengalaman sejumlah  pengusaha  emping  sebelumnya yang bangkrut  terjerat  hutang,  maka kemudian muncul prinsip ‘sakmadyo’ dan ini nampaknya diyakini betul sehingga akhirnya di desa ini hanya ada satu pengusaha emping melinjo dengan label TRIROSO.  

5.      Sumber daya manusia
Pekerja yang terlibat  yaitu penduduk sekitar ada 35 KK, jika masing-masing ada 2 yang terlibat  maka ada 70 orang terlibat. Setiap orang bisa mengambil bahan untuk ditumbuk – deplok sekitar 20 kg dan upah per kg Rp. 2.000 (upah tumbuk) sehingga per orang mendapatkan Rp.40.000 per hari. Buruh tumbuk dilakukan di rumah karena mereka juga bisa melakukan pekerjaan rumah dan juga pekerjaan lainnya sehingga muncul mutualisme yaitu pekerjaan rumah selesai dan tetap bekerja numbuk  mendapatkan penghasilan dari buruh.

6.      Kepemimpinan
Kendali utama tetap ada di  Bu Temu dan suaminya, meski di sisi lain juga berusaha memberi kepercayaan pengelolaan kepada anak-anak. Hal ini  tidak lain upaya untuk melakukan suksesi  dan regenerasi. Hal ini penting karena dari sejumlah pengusaha yang pernah ada, ternyata tidak ada satupun yang mampu bertahan, kecuali  Bu Temu. Keberlangsungan sentra  industri  emping melinjo ini  tergantung kepada bagaimana Bu Temu mewariskan usaha ini ke anak-anaknya.

7.      Manajemen akuntansi
Temuan yang sama juga ada di sentra industri emping di Mutihan milik Bu Temu karena memang tidak ada prosedural  manajemen akuntansi karena takut pusing, semua berjalan sesuai apa adanya dan lebih banyak didasarkan pada aspek kepercayaan. Artinya, manajemen yang utama adalah saling percaya, meski tetap ada pembukuan sederhana untuk bisa sekedar mencatat jumlah pengambilan bahan emping, jumlah pengiriman bahan, jumlah yang diambil pedagang besar dan juga pencatatan hutang – piutang secara sederhana. Yang menarik pernah ada koperasi Wiradewi, tapi tidak berjalan karena koperasi tidak bisa memasarkan produksi dan tidak proaktif.

8.      Pengupahan
Pengupahan untuk buruh tumbuk – ndeplok telah dijelaskan di atas dan untuk lainnya, misal  penggorengan dan pemberian bumbu dilakukan sendiri oleh Bu Temu dan suaminya. Hal ini tidak lain untuk menjaga rasa dan karenanya tidak ada upah bagi keduanya. Selain itu, pekerjaan yang lainnya, misal mengeringkan biji melinjo dengan panas  matahari  cenderung dilakukan secara insidentil, sedang untuk pengepakan dilakukan anak-anaknya  sendiri  dengan  sedikit  bantuan dengan  pengupahan yang tidak terlalu  besar  (upah  harian). 

9.      Bahan baku
Dari temuan yang ada menunjukan bahwa manajemen persediaan bahan baku dan juga persediaan emping jadi dengan berbagai rasa (rasa manis, kluthuk, kropos, super dan bumbon) sudah diterapkan dengan baik. Oleh karena  itu, fluktuasi harga melinjo yang menjadi bahan emping  tidak menjadi persoalan serius dari proses produksi. Selain itu, luas area rumah yang juga menjadi tempat produksi sangat memungkinkan bagi penyimpanan sehingga ketersediaan bahan  baku dan persediaan  emping siap jual  dapat  disimpan dengan baik tanpa mengurangi rasa dari hasil produksi itu sendiri. 

10.  Proses produksi
Proses  produksi yang ada di berbagai UKM  sentra industri cenderung dilakukan dengan prinsip sederhana dan cenderung manual karena tak ada otomatisasi dalam semua proses  produksi yang berlangsung. Semua pekerjaan juga  dilakukan manual dengan tangan-tangan terampil dan cekatan yang sudah sangat  terbiasa melakukan rutinitas  pekerjaan di   sentra  industri.  Temuan yang  ada  menunjukan bahwa proses  produksi tidak semuanya dikerjakan di rumah sebagai tempat proses produksi karena adanya pelibatan warga sekitar sebagai buruh tumbuk – ndeplok.  

11.  Produk sampingan
Produk sampingan yaitu pengembangan produk utama untuk meningkatkan nilai tambah yang memberikan profit. Oleh karena itu, proses pengolahan produk yang baik akan memberikan produk sampingan yang baik juga. Proses produksi emping melinjo tidak menyisakan produk sampingan yang terbuang karena semuanya dapat dimanfaatkan dan juga memberikan nilai ekonomi. Bahkan, kulit melinjo yang telah diambil bijinya bisa dimanfaatkan untuk sayuran, juga bisa dimasak menjadi snack setelah melalui proses penggorengan.

12.  Pemasaran
Aspek pemasaran sudah mencakup berbagai daerah misal Kalimantan, Malaysia (sudah 3 tahun) dan Jatim. Kemasan dalam berbagai bentuk ukuran yaitu: ¼ kg, ½ kg, 1 kg, dan 5 kg. Promosi dilakukan dari mulut ke mulut  (word-of-mouth)  lewat  tukang becak,  andong karena setiap lebaran Bu Temu memberikan fitrah – zakat. Promosi cara ini ternyata sangat efektif sebab banyak wisatawan yang diantar oleh tukang becak dan
andong ke rumah Bu Temu untuk sekedar tahu proses pembuatan dan membeli beberap kilo emping melinjo dan tukang becak – andong yang mengantar juga akan mendapat emping meski jumlahnya tidak seberapa.

13.  Limbah hasil produksi
UKM sentra industri emping ternyata tidak ada limbah hasil produksi karena semua terpakai, termasuk kulit juga laku di jual untuk di masak atau di buat goreng kulit. Secara ekonomi, usaha ini sangat menguntungkan karena tidak ada satupun produk terbuang. Selain itu, terobosan bakpia emping menjadi alternatif baru yang memberikan nilai tambah dan nilai ekonomi dari kuliner dalam bentuk makanan khas asli Jogja.

14.  Pertimbangan ekspansi
Kegagalan sejumlah pengusaha sebelumnya yang terbelit hutang dan tidak konsisten dengan ekspansi usaha. Selain itu, untuk mendukung ekspansi juga telah melibatkan proses regenerasi kepada anak-anaknya. Salah satu bentuk  ekspansi  yang telah dilakukan adalah  membuat  rumah kos  karena di  sekitar  rumah tersebut terdapat sebuah PTS dan juga rencana pendirian kampus 3 dari salah satu PTS. Sampai saat ini sudah ada 22 kamar kos  dan sedang menyelesaikan 10 kamar kos lagi yang berlokasi di dekat 22 kamar kos  yang lama dan juga masih sekitar rumah untuk proses produksi.

15.  Dampak sosial
Dampak sosial  dari  perkembangan UKM  sentra industri emping sangat  terkait dari  aspek  pemberdayaan semua warga, baik sebagai  buruh deplok – tumbuk  atau dalam kaitan sebagai penjual emping melinjo. Hal ini secara tidak langsung memberikan nilai tambah sosial dan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat. Pihak terkait sangat perlu untuk mendukung dan menumbuhkembangan sentra industri lain agar realitas dampak sosial  dapat  lebih memberdayakan  masyarakat   sehingga terjadi  simbiosis mutualisme yang memberikan dampak simultan ke aspek yang lain.  

16.  Dampak penyerapan tenaga kerja
Keberadaan UKM  dan sektor informal pada umumnya cenderung padat karya serta melibatkan rantai nilai yang tidak kecil. Oleh karena itu, pada setiap tingkatan yang terlibat, baik dalam proses  produksi ataupun dalam jaringan pemasaran maka perlu membangun sinergi  dengan banyak pihak. Jika saja dari setiap UKM yang ada bisa melibatkan pekerja minimal 5 orang, maka secara nasional akan terjadi akumulasi pelibatan pekerja dalam jumlah yang sangat banyak. Dari temuan ini, maka UKM  di berbagai sentra industri harus diberdayakan agar aspek penyerapan tenaga kerja bisa lebih optimal dan hal ini secara tidak langsung dapat mereduksi pengangguran.

17.  Dampak perbaikan kesejahteraan
Dampak simultan yang tidak bisa terlepas dari penyerapan tenaga kerja dari  keberadaan UKM di berbagai sentra industri adalah perbaikan taraf kesejahteraan. Jika satu saja dari keberadaan UKM  di berbagai  sentra industri dapat  memberikan perbaikan kesejahteraan satu keluarga,  maka secara nasional akan berdampak positif bagi  perbaikan kesejahteraan. Oleh karena itu, pemerintah pusat khususnya dan pemerintah daerah pada umumnya dituntut untuk lebih menumbuhkembangkan eksistensi UKM. Hal ini selain sejalan dengan penerapan era otda, juga terkait dengan program pemerintah untuk menumbuhkembangkan industri kreatif karena UKM – sektor informal juga menjadi bagian dari keberadaan industri kreatif. 
 
18.  Dampak ekonomi mikro
Keberhasilan daerah menumbuhkembangkan UKM dengan berbagai  sentra industri yang ada  secara tidak langsung akan berdampak positif bagi perbaikan ekonomi di daerah tersebut. Oleh karena itu, dalam skala mikro, eksistensi UKM dengan berbagai sentra industri yang ada sangat berpengaruh terhadap peningkatan kondisi mikro ekonomi di daerah, baik dalam penerimaan pajak ataupun kontribusi lainnya.

19.  Dampak ekonomi makro
Aspek lainnya yang tidak dapat diabaikan dari peran UKM dengan berbagai sentra industri yang ada adalah dampak terhadap ekonomi  makro.   Jika  suatu  daerah yang mampu  menumbuhkembangkan  UKM   dapat meningkatkan ekonomi mikro, maka hal ini secara nasional dapat  mempengaruhi  perbaikan kondisi makro ekonomi.   Jika   hal   ini   dapat   berkelanjutan  maka   secara   tidak   langsung  akan   mempengaruhi   kondisi kesejehteraan  dan mereduksi   kemiskinan absolut   termasuk  juga  kontribusi  terhadap  penerimaan  negara melalui berbagai retribusi dan pajak yang dibayarkan rakyat  di daerah dan secara nasional. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengibiri UKM dengan berbagai sentra industri yang ada di daerah, tanpa terkecuali.

20.  Tantangan mendatang
Identifikasi  terhadap  berbagai  tantangan  yang  ada  harus  dipetakan  dengan  melihat   kondisi riil masing-masing UKM  dengan berbagai sentra industri  yang ada. Paling tidak, pemetaan  tersebut  harus  mengkaji tentang kekuataan internal dan potensi riil yang ada dikaitkan dengan ancaman dan kelemahan dari masing-masing UKM. Hal ini tentu harus  mendapat dukungan dari semua, tidak hanya Disperindagkop pusat dan daerah, tetapi juga perbankan dan pihak swasta serta mitra atau bapak angkat  di  semua tahapan, termasuk mata rantai yang terlibat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar