Sabtu, 28 Desember 2013

Bahaya Media Sosial

Remaja masa kini, siapa yang tak kenal Facebook dan Twitter? Bahkan sejak usia belia, katakanlah 8 tahun, seorang anak sudah mengenal dan memiliki akun social media. Masalahnya, seringkali mereka asal bergabung saja dengan social media tanpa memahami bahaya yang mengincar. Orang tua pun sering kali menganggap wajar saja jika anak mereka sudah mulai berfesbuk dan twiteria, tanpa memberi mereka peringatan tentang dampak negatifnya.

1. Pencuri waktu dan produktivitas.
Bisa dikatakan di zaman modern sekarang ini kita tidak bisa terpisah dari yang namanya teknologi informasi dan komunikasi. Setiap hari kita butuh informasi baru dan komunikasi yang dinamis. Mungkin mereka sudah bisa dimasukkan ke daftar kebutuhan primer, selain sandang, pangan, papan. Apalagi dengan adanya teknologi smartphone yang bisa mengakses media sosial dengan cepat, mudah, dan murah, orang-orang pun semakin dimanjakan. Dengan “sekali klik”, kita bisa memperoleh informasi apapun yang diinginkan. Akibatnya, tanpa disadari kita menjadi “terlarut” di dalamnya. Kapanpun, di manapun, dan dengan siapapun kita saat itu, selalu tidak pernah lupa untuk meng-update status, meng-uplad foto, ataupun memberi comment di status orang lain. Pekerjaan yang seharusnya jadi prioritas utama malah jadi terabaikan. Kita pun jadi sangat mudah mengalami distraction dan kehilangan fokus pada hal-hal lain.


2. Hubungan yang dangkal dan murah. 
Keberadaan media sosial elektronik memberi kita kesempatan untuk bisa tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup orang lain tanpa kita harus masuk dan mengenal lebih dalam tentang kehidupan orang tersebut. Stalking, demikianlah orang-orang mengenal istilahnya zaman sekarang. Lagi pula jika ada teman yang sedang berulangtahun, kita bisa langsung memberikan “perhatian” dengan hanya meluangkan beberapa detik saja menuliskan “HBD WYATB”. Tak perlu telepon untuk sekedar mendengar suaranya dan tulus mendengarkan kisah hidupnya. Tak perlu menghabiskan waktu, energi, dan uang kita untuk datang ke rumahnya bertatap muka secara langsung, memberi pelukan hangat, dan kado spesial. Selain itu, jika kita telah melakukan kesalahan pada orang lain, kita bisa dengan mudah menyampaikan permohonan maaf melalui e-mail atau message di media sosial tersebut. Tidak perlu datang bertemu langsung dan melakukan pemberesan secara pribadi. Semuanya dianggap “baik-baik saja”. Akibatnya, kemampuan relasi interpersonal menjadi semakin buruk. Orang-orang lebih “pandai” membangun hubungan di dunia maya daripada di dunia nyata. Yang mengherankan, cara mereka bersikap di dunia maya cenderung tidak sama dengan apa yang mereka tunjukkan di dunia nyata. Hubungan pun terasa palsu, dangkal, dan murahan.

3. Cenderung berfokus pada diri sendiri.
Setiap orang punya kebutuhan tentang eksistensi diri, untuk mengaktualisasikan diri dan kebutuhan tersebut dijawab dengan sangat tepat oleh media sosial. Orang-orang berlomba menunjukkan tempat-tempat mana saja yang sudah dikunjungi, makanan-makanan apa saja yang sudah pernah disantap, atau aktivitas-aktivitas apa saja yang sudah pernah dikerjakan. Ada yang motivasinya untuk membangun citra, ada juga yang motivasinya untuk mencari perhatian. Namun, ada juga motivasi yang lebih “gila”, yaitu untuk menyakiti (atau membuat iri) orang lain. Apapun motivasinya, intinya sama saja: “menyenangkan diri sendiri”. Menurut saya, jika sudah tidak tertahankan lagi, sikap “menyenangkan diri sendiri” ini cepat atau lambat akan segera menuju ke sikap “menyembah diri sendiri” atau “mengidolakan diri sendiri".

Ibarat pisau, media sosial elektronik, bisa digunakan untuk tujuan yang positif (konstruktif) atau negatif (destruktif). Semua tergantung pada siapa pemakainya.


http://philipwijaya.com/2013/05/31/bahaya-media-sosial/
http://ictwatch.com/internetsehat/2012/05/07/5-ancaman-bagi-anak-remaja-di-social-media/



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar